Thursday 6 February 2020

Muhammad Ath Thaariq Aziizi 17:00
Penulis : Muhammad Ath Thaariq Aziizi K4419061 Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS

A.  Latar Belakang


Mata pelajaran sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang penting dan diajarkan diberbagai tingkat pendidikan. Dewasa ini telah dilakukan berbagai diskusi tentang tujuan pembelajaran sejarah di sekolah dan perubahan yang perlu dilakukan dalam pembelajaran sejarah. Semua diskusi memunculkan keyakinan bahwa dalam skema pendidikan umum, sejarah sangat penting untuk diajarkan (Kochar, 2008).
Pembelajaran sejarah SMA di Ambarawa masih menitikberatkan pada pembelajaran secara konvensional. Aktivitas siswa dalam pembelajaran sejarah masih terbatas pada sumber buku teks pelajaran. Selain itu, orientasi pembelajaran masih terpusat pada guru dan pembelajaran hanya bersifat satu arah. Guru menjadi subjek yang sentral dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode konvensional atau ceramah. Materi sejarah dianggap siswa kurang begitu menarik, karena materi sejarah dianggap masa lalu. Siswa merasa jenuh karena tidak ada inovasi dalam pembelajaran sejarah.
Pembelajaran sejarah agar menarik dan menyenangkan dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, antara lain mengajak siswa pada peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di sekitar mereka. Lingkungan di sekitar siswa terdapat berbagai peristiwa sejarah yang dapat membantu guru untuk mengembangkan pemahaman siswa tentang masa lalu. Pada umumnya siswa lebih tertarik terhadap pelajaran sejarah bila berhubungan dengan situasi nyata di sekitarnya, sehingga siswa dapat menggambarkan suatu peristiwa masa lalu seperti dalam pelajaran sejarah. Kondisi nyata di sekitar siswa dapat digunakan guru sebagai cara untuk menggambarkan dan mengantarkan suatu peristiwa sejarah (Isjoni, 2007).
Menurut Darsono (2000) pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk membantu peserta didik agar memperoleh pengalaman Ahmad Sugandik (2004), menegaskan bahwa pembelajaran sejarah bertujuan agar peserta didik memperoleh kemampuan berfikir secara historis. Maka dalam proses pembelajaran terdapat komponen-komponen yang menyusun suatu pembelajaran yaitu: (1) tujuan; (2) subjek belajar; (3) materi pelajaran; (4) strategi pembelajaran; (5) media pembelajaran; (6) evaluasi; dan (7) penunjang pembelajaran.
Guru sejarah memiliki peranan penting dalam keseluruhan proses pembelajaran sejarah. Selain mengembangkan bentuk-bentuk alat bantu pembelajaran secara mekanis dan mengembangkan pendidikan yang berfokus pada kemajuan siswa, guru sejarah memegang peranan penting dalam membuat pelajaran sejarah menjadi hidup dan menarik bagi siswa. Guru sejarah bertanggungjawab menginterpretasikan konsep tersebut kepada siswa-siswanya. Guru sejarah harus mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan agar proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan cepat dan baik. Selera humor guru sangat penting dalam proses pembelajaran sejarah itu sendiri (Kochar, 2008).
Metode pengajaran yang memanfatkan media pembelajaran akan meyakinakan siswa terhadap materi yang disampaikan. Pemanfaatan media pembelajaran dapat membantu guru untuk mempresentasikan materi pembelajaran kepada siswa. Media Pembelajaran akan memberikan suatu paradigma baru tentang pembelajaran yang lebih interaktif dan tradisi baru bagi guru dengan meninggalkan cara konvensional untuk pengembangan pembelajaran yang lebih praktis. Siswa akan lebih tertarik terhadap pendekatan pengajaran yang memanfaatkan media pembelajaran. Guru juga akan lebih mudah untuk mengendalikan situasi dikelas yang merupakan bagian penting dari pembelajaran ini (Tracey dan Nesbit, 2007).
Media Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Guruan (Association for Education and Communication technology/AECT) yang dikutip oleh Asnawir dan Usman (2002) mendefinisikan media sebagai benda yang dapat dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan dengan baik dalam kegiatan belajar mengajar dengan mempertimbangkan efektifitas program instruksional. Berkaitan dengan definisi media, Anitah (2008) mengaskan bahwa media dapat berbentuk perangkat keras (hardwere) dan lunak (softwere). Media secara umum dapat menjadi media pembelajaran, jika segala sesuatu (hardwere dan softwere) tersebut membawakan pesan untuk suatu pembelajaran.
Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi dan digunakan untuk menyampaikan pesan pembelajaran antara peserta didik, pendidik, dan bahan ajar. Menurut Gerlach dan Ely di dalam bukunya Arsyad (2002) menjelaskan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi untuk membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Secara khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
Pemilihan media pembelajaran menurut Ely dalam bukunya Sadiman dkk (2011) mengatakan pemilihan media tidak terlepas dari konteksnya bahwa media merupakan komponen dari sistem instruksional secara keseluruhan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan setelah tujuan dan isinya sudah diketahui, yaitu: karakteristik siswa, strategi belajar mengajar, organisasi kelompok belajar, alokasi waktu, sumber, dan prosedur. Sebagai pendekatan praktis yang perlu dipertimbangkan berapa lama waktu yan yang diperlukan dan format apa yang memenuhi selera pemakai antara siswa dengan guru.
Pemanfaatan museum sebagai media pembelajaran merupakan wujud kreatifitas dari guru. Bahkan Turner Richard (2005) menyebutkan media pembelajaran akan memberikan bantuan bagi guru dan bagi instansi pendidikan untuk merancang pembelajaran lebih menarik. Sangat disarankan untuk mengembangkan pengajaran menggunakan media pembelajaran agar lebih relevan terhadap masa kini yang dikontruksikan dari sumber-sumber peristiwa sejarah masa lalu.
Kochar (2008) menyebutkan nilai penting dalam pembelajaran sejarah adalah nilai keilmuan, nilai informatif, nilai pendidikan, nilai etika, nilai budaya, nilai politik, nilai budaya, nilai nasionalisme, nilai kerja, dan nilai kependidikan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah menjadi mata pelajaran sejarah tidak lagi terlalu menekankan pengajaran hafalan tetapi lebih berfikir historis, kritis dan analitis. Berfikir kritis dan analitis akan membiasakan peserta didik untuk melihat dan menerima gambaran sejarah tidak pasif yang selalu dituntun oleh pendidik.
Tujuan pembelajaran sejarah adalah sebagai wahana bagi pewarisan nilai-nilai kehidupan bangsa. Tujuan pembelajaran sejarah diposisikan sebagai pendidikan tentang cara berfikit keilmuan. Pemberlajaran sejarah memiliki tujuan penting seperti: kualitas seperti berfikir secara kronologis, pemahaman sejarah, kemampuan analisis penafsiran sejarah dan kemampuan penelitian (Hamid Hasan, 2007).
Sumber belajar menurut Barbara dan Rita (1994) adalah proses kegiatan yang mendukung terjadinya belajar, termasuk sistem pelayanan, bahan pembelajaran dan lingkungan. Sumber belajar tidak hanya terbatas pada bahan dan alat yang digunakan dalam proses pembelajaran, melainkan juga tenaga, biaya, dan fasilitas. Sumber belajar mencakup apa saja yang dapat digunakan untuk membantu tiap orang untuk belajar dan menampilkan kompetesinya.
Menurut Enco Mulyasa (2004) memberikan pengertian tentang sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan dalam proses belajar mengajar. Sementara itu Ahmad Rohani (2004) memberikan penjelasan lain bahwa sumber belajar dalam pengajaran adalah segala apa (daya, lingkungan, pengalaman) yang dapat digunakan dan dapat mendukung proses atau kegiatan pengajaran secara lebih efektif dan dapat memudahkan pencapaian tujuan pengajaran. Sumber belajar juga merupakan segala macam sumber yang ada di luar diri seseorang (peseta didik) untuk memudahkan terjadinya proses belajar.
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2001) mengklasifikasikan sumber belajar sebagai berikut: (1) Sumber belajar tercetak: buku pelajaran, majalah, kamus, koran, ensiklopedi, dan lain-lain; (2) Sumber belajar non-cetak: transparasi, buku catatan, film, slide, model, dan lain-lain; (3) Sumber belajar yang berbentuk fasilitas: perpustakaan sekolah, ruangan belajar, lapangan olah raga dan sebagainya; (4) Sumber belajar yang berupa kegiatan: wawancara, belajar kelompok, simulasi, observasi, permainan dan lain-lain; (5) Sumber belajar yang berupa lingkungan di masyarakat: pabrik, museum, taman, terminal dan lain-lain.
Dalam artikel ini ditelaah tentang pemanfaatan Museum sebagai sumber dan media pembelajaran sejarah. Museum berasal dari kata museion yang memiliki arti sebuah gedung tempat pemujaan para muse yang merupakan salah satu dari dewi pelambang cabang-cabang kegiatan atau ungkapan ilmu pengetahuan dan kesenian (Sutaarga, 1999).
Direktorat Permuseuman dan Kebudayaan (1986) mengklasifikasikan jenis-jenis museum atas tiga tipe sebagai berikut: (1) Museum Umum adalah museum yang tidak membatasi jenis benda koleksinya; (2) Museum Khusus adalah museum yang membatasi jenis-jenis benda yang dikoleksinya; (3) Museum Pendidikan adalah museum yang membatasi jenis koleksinya dikhususkan pada tingkat pendidikan tertentu. Sedangkan Menurut International Council of Museum (ICOM) dalam Sutaarga (1976) fungsi museum antara lain: (a) Pengumpulan dan pengamanan warisan budaya yaitu museum berfungsi sebagai tempat mengumpulkan benda-benda purbakala untuk dapat dipergunakan sebagai warisan untuk generasi yang akan datang; (b) Dokumentasi dan penelitian ilmiah yaitu museum sebagai sarana bagi pendidikan alam, penelitian ilmiah; (c) Konservasi dan preparasi yaitu museum sebagai alat untuk mengukur keilmiahan benda; (d)Pengenalan dan penghayatan ilmu kesenian yaitu museum berfungsi sebagai sarana mempelajari kesenian daerah.
Sumber belajar lingkungan yang dapat dimanfaatkan SMA di Ambarawa salah satunya adalah Museum Isdiman Palagan Ambarawa. Museum Isdiman Palagan Ambarawa terletak di Kota Ambarawa, Kabupaten Semarang. Museum Isdiman Palagan Ambarawa merupakan bukti sejarah pertempuran Palagan Ambarawa. Pasukan TKR yang dipimpin Kolonel Soedirman berhasil mengalahkan Sekutu pada tanggal 15 Desember 1945 yang juga diperingati sebagai Hari Infanteri. Museum Isdiman Palagan Ambarawa menyimpan senjata senapan-senapan kuno, tank dan meriam, serta replika pesawat Mustang yang berhasil ditembak jatuh ke dalam Rawa Pening. Keberadaan Museum Isdiman Palagan Ambarawa merupakan sumber belajar sejarah yang penting untuk dipelajari bagi peserta didik. Pengamatan dan analisa untuk mendalami materi sejarah menjadi tuntutan bagi siswa SMA dalam mempelajari sejarah.
Pemanfaatan Museum Isdiman Palagan Ambarawa sebagai sumber dan media pembelajaran sejarah dapat memberikan informasi kongkret kepada siswa. Pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan museum akan membuat siswa lebih mudah memahami tentang peristiwa sejarah dan siswa dapat melihat bukti-bukti nyata mengenai materi pembelajaran sejarah. Museum Isdiman Palagan Ambarawa merupakan warisan sejarah dari perjuangan bangsa Indonesia mempunyai nilai historis yang tinggi. Pendalaman materi sejarah pertempuran Ambarawa dengan memanfaatkan Museum Isdiman Palagan Ambarawa diharapkan dapat memperkaya pengetahuan sejarah siswa dan memberikan kepada guru sejarah sebagai pilihan metode pembelajaran yang lebih kreatif. Peserta didik tidak hanya sekedar dituntut hanya memiliki kompetisi kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Dalam hal ini dapat mengubah anggapan bahwa sejarah bukan sesuatu yang membosankan dan menjenuhkan tetapi merupakan suatu yang menarik dan menyenangkan. ( jurnal.uns.ac.id, uns.ac.id, fkip.uns.ac.id, jurnal.fkip.uns.ac.id, http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sejarah, http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sejarah/article/view/12075, sejarah.fkip.uns.ac.id, https://jurnal.uns.ac.id/historika, https://jurnal.uns.ac.id/historika/article/view/38445, https://jurnal.uns.ac.id/historika/issue/view/2855. )


 B.   Tujuan Artikel Ilmiah

Penelitian ini mengambil masalah tentang Museum Isdiman Palagan Ambarawa sebagai sumber dan media pembelajaran sejarah SMA di Ambarawa, yang disajikan secara deskriptif. Metode deskriptif merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya, dan memusatkan perhatiannya pada penemuan fakta-fakta sebagaimana keadaan sebenarnya (Nawawi & Martini, 1994).
Strategi penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus terpancang tunggal. Jenis penelitian kasus ini disebut studi kasus terpancang (embedded case study) mengingat permasalahan dan fokus penelitian sudah ditentukan dalam proposal sebelum peneliti terjun dan menggali permasalahan di lapangan (Sutopo, 2006).
Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber pada informan, tempat, peristiwa, arsip dan dokumen. Bentuk sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, kuesioner dan analisis dokumen. Untuk menguji validitas data, dalam penelitian ini digunakan triangulasi data dan metode. Analisis penelitian dilakukan dengan teknik interaktif (Miles dan Huberman, 1992). Proses analisis interaktif meliputi tahapan: 1) pengumpulan data; 2) reduksi data; 3) sajian data; dan 4) verivikasi/menarik kesimpulan.

C. Pembahasan

Sejarah dan Perkembangan Museum Isdiman Palagan  Ambarawa

Menurut Sadirman (2004), sejarah yang bersifat ilmiah akan memberikan latihan berfikir dalam merekontruksikan kembali, serta menarik kesimpulan dari berbagai peristiwa yang terjadi. Menurut Hamid Hasan (2007), tujuan pembelajaran sejarah adalah sebagai wahana bagi pewarisan nilai-nilai kehidupan bangsa. Tujuan pembelajaran sejarah diposisikan sebagai pendidikan tentang cara berfikir keilmuan.
Pertempuran Palagan Ambarawa merupakan materi terkait dengan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran Ambarawa dimulai dengan adanya insiden air di Gereja Jago. Kota Ambarawa pada masa awal kemerdekaan dijadikan Sekutu sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa Tengah. Kolonel Soedirman menginginkan agar tentara Sekutu diusir dari Ambarawa secepat mungkin dengan menggunakan taktik Supit Urang. Taktik Supit Urang merupakan gerakan pendobrakan oleh pasukan pemukul dari arah selatan dan barat ke arah timur menuju Semarang.
Dari hasil wawancara terhadap pelaku sejarah menunjukkan peristiwa palagan Ambarawa merupakan kejadian fakta yang harus di sebar luaskan kepada khalayak masyarakat terutama bagi para pelajar. Nilai yang terkandung dalam peritiwa Palagan Ambarawa dapat diharapkan menambahkan jiwa nasionalisme. Sejarah Palagan Ambarawa merupakan peristiwa yang penting untuk di pahami secara mendalam. Hal ini terkait nilai-nilai yang terkandung dalam peristwa Palagan Ambarawa dan juga diabadikan sebagai Hari Infantri. Pendirian Museum Isdiman Palagan Ambarawa merupakan penghormatan atas gugurnya Letkol Isdiman dalam peristiwa Palagan Ambarawa. Museum Isdiman Palagan Ambarawa menjadi bukti peninggalan sejarah dari peristiwa Pertempuran Ambarawa.
Tujuan dari perkembangan museum dengan mengubah bentuk bangunan arsitektur museum dan menambahkan layanan baru akan membuat daya tarik pengunjung. Museum akan menjadi lebih bermakna yang awalnya hanya bertujuan untuk rekreasi semata tetapi bisa merubah konsep rekreasi pendidikan. Kebijakan perubahan baik fasilitas maupun bangunan museum baru harus fokus pada bagaimana menjadi lebih jangan sampai meninggalkan unsur edukatif. Perkembangan dari museum bertujuan untuk memotivasi siswa masyarakat agar lebih partisipatif tanpa meninggalkan fungsi edukatif. Museum harus mengusulkan pelayanan yang lebih kepada pengunjung, jangan sampai hanya menunjukkan dalam promosi event kosong (Laurie Hanquinet dan Mike Savage, 2012).
Museum Isdiman Palagan Ambarawa dalam perkembangan zaman perlu adanya renovasi museum dari segi fisik dan fasilitas tanpa menghilangkan nilai historisnya. Hal ini dilakukan  dalam  upaya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan. Selain renovasi fisik bangunan juga memberikan pelayanan yang prima kepada pengunjung. Perkembangan Museum Isdiman Palagan Ambarawa tidak terlepas dari peran masyarakat. Kurang perhatian serta masyarakat mengakibatkan museum tidak berkembang seperti yang diharapkan. Masyarakat memiliki perananan penting dalam berkembangnya Museum Isdiman Palagan Ambarawa, karena berakaitan dengan jumlah pengunjung. Dengan minimnya jumlah pengunjung, ini berarti pemasukan bagi museum juga berkurang jumlahnya. Pemasukan yang tidak mencukupi ini mengakibatkan museum kesulitan untuk berkembang bahkan untuk pemeliharaan dan perawatan.
Data deskripsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan Museum Isdiman Palagan Ambarawa adalah langkah penting untuk membuat daya tarik kepada masyarakat. Dengan adanya renovasi di Museum Isdiman Palagan Ambarawa diharapkan mampu menambahkan jumlah pengunjung.

Kondisi dan Pengelolaan Museum Isdiman Palagan Ambarawa
Museum merupakan suatu badan yang mempunyai tugas dan untuk memamerkan hasil penelitian dan pengetahuan tentang benda yang penting bagi Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan (Akbar, 2010). Sedangkan menurut Direktorat Museum (2007) administrasi museum merupakan suatu kegiatan inventarsisasi terkait dengan pencatatan benda-benda yang dijadikan koleksi museum ke dalam buku koleksi. Data dari buku registrasi sebagian besar dimasukan ke dalam buku inventarisasi. Saunders (2014), menjelaskan administrasi museum merujuk pada fungsi museum sebagai lembaga penyimpan dan merawat benda berharga yang memiliki nilai sejarah atau ilmiah. Pengaturan koleksi museum sebagai wujud dari administrasi koleksi museum. Pengelola museum bertanggung jawab terhadap penyelamatan benda koleksi museum.
Deskripsi hasil wawancara menunjukkan administrasi Museum Isdiman Palagan Ambarawa yang dilakukan pengelola museum hanya sebatas pengelolaan pendapatan dari pengunjung. Kegiatan admintrasi masih bersifat sederhana dan kegiatan inventarasasi diserahkan kepada pihak Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah di Prambanan. Struktur organiasasi Museum Isdiman Palagan Ambarawa meliputi: penanggung jawab yakni Kepala UPTD Objek Wisata Kabupaten Semarang dan Pengelola yakni Koordinator Museum yang dibantu oleh sie kebersihan dan sie keamanan.
Administrasi Museum Isdiman Palagan Ambarawa masih sebatas terkait pengelolaan keuangan retribusi dari pengunjung. Administrasi museum seharusnya berkaitan terkait pengelolaan museum dan pemeliharaan benda-benda bersejarah di Museum Isdiman Palagan Ambarawa secara terarah.  Maka dari itu diperluakan adanya struktur organisasi yang sesuai dengan ketetapan Direktorat Museum (2007) meliputi kepala museum, bagian administrasi, pengelola koleksi (kurator), bagian konservasi (perawatan), bagian penyajian (preparasi), bagian pelayanan masyarakat, bimbingan edukasi, dan pengelola perpustakaan.
Dari deskripsi di atas dapat dikesimpulkan bahwa organisasi Museum Isdiman Palagan Ambarawa belum memenuhi standar dari organisasi museum yang ditentukan oleh Direktorat Museum. Masih perlu adanya penambahan staf pegawai terutama yang mengelola administrasi koleksi museum.
Menurut Noerhadi (2008) museum sebagai lembaga yang memiliki fungsi mengumpulkan, merawat dan memamerkan untuk tujuan penelitian. Cara kerja atau kerangka yang dapat dijadikan sebagai kerangka kerja seorang kurator dalam melakukan perawatan terhadap objek yang menjadi koleksi museum. Objek yang demikian ini dibuat dipergunakan dan dirawat oleh masyarakat guna keperluan praktis, estetis atau simbolis. Menurut Direktorat Museum (2007) didirikannya museum di Indonesia dengan tujuan untuk menciptakan kelembagaan yang melestarikan warisan budaya, dalam arti yang luas yaitu melestarikan fisik benda-benda warisan budaya. Akan tetapi, juga melestarikan makna yang terkandung di dalam benda koleksi museum dalam sistem nilai dan norma. Kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu tugas pokok museum yaitu melakukan perawatan terhadap benda-benda bersejarah yang sudah menjadi koleksi museum.
Pendapat Noerhadi (2008) sesusai dengan hasil wawancara yang menyebutkan museum wajib melakukan perawatan terhadap koleksi benda bersejarah di Museum Isdiman Palagan Ambarawa. Perawatan dilakukan dengan cara membersihkan kotoran-kotoran dan noda-noda pengganggu. Saat pembersihannya harus hati-hati jangan sampai mennghilangkan atau melunturkan warna asli benda terserbut. Perawatan koleksi Museum Isdiman Palagan Ambarawa ini meliputi pistol, meriam, karabijn, miltralieu, pedang samurai dan semua koleksi yang terbuat dari besi perawatannya dengan menggunakan minyak senjata agar tetap terjaga perawatannya. Sedangkan, perawatan terhadap foto dengan pembersihan menggunakan kemoceng setiap harinya agar terhindar dari debu.
Dari deskripsi data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perawatan koleksi Museum Isdiman Palagan Ambarawa sudah terlaksana. Kegiatan perawatan koleksi museum seharusnya dilakukan tidak terfokus pada bentuk fisik. Konservasi dapat menjadi solusi terhadap perawatan koleksi museum perlu dilakukan untuk kemudahan dalam melakukan perwatan terhadap koleksi museum.


Pemanfaatan Koleksi Museum Isdiman Palagan Ambarawa sebagai  Sumber dan Media Pembelajaran Sejarah SMA Negeri 1 Ambarawa
Menurut Ahmad Rohani (2004) menggolongkan sumber belajar berdasarkan sifat dasar dan segi pengembangannya. Menurut sifat dasarnya sumber belajar ada dua macam yaitu sumber belajar insani dan sumber belajar non-insani. Sedangkan menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2001) mengklasifikasikan sumber belajar sebagai berikut: (1) Sumber belajar tercetak: buku pelajaran, majalah, kamus, koran, ensiklopedi, dan lain-lain; (2) Sumber belajar non-cetak: transparasi, buku catatan, film, slide, model, dan lain-lain; (3) Sumber belajar yang berbentuk fasilitas: perpustakaan sekolah, ruangan belajar, lapangan olah raga dan sebagainya; (4) Sumber belajar yang berupa kegiatan: wawancara, belajar kelompok, simulasi, observasi, permainan dan lain-lain; dan (5) Sumber belajar yang berupa lingkungan di masyarakat: pabrik, museum dan taman. Dari dua pendapat tersebut mengidentifikasi museum sebagai sumber belajar  jenis lingkungan. Museum Isdiman Palagan Ambarawa merupakan museum yang satu kecamatan dengan SMA di Ambarawa.
Manfaat museum sebagai sumber belajar dijelaskan oleh Janet Gail Donal (1991) kunjungan ke museum dapat membuat pembelajaran lebih kongkret dan menarik. Meskipun pada dasarnya pembelajaran museum lebih sulit untuk diterapkan tetapi siswa akan mendapakam pengetahuan sejarah yang lebih besar di museum sejarah. Pembelajaran di museum juga melatih siswa untuk berpikir kronologis dan melatih siswa untuk memecahkan masalah terkait penguasaan materi pelajaran yang masih terfokus pada teori yang disediakan di buku. Guru dapat mengambil sebuah keuntungan potensial dari pembelajaran menggunakan sumber belajar museum. Siswa dapat diajak untuk melakukan penelitian di museum dan siswa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih jelas dan tidak hanya terpaku pada teks book thinking.
 
D. Kesimpulan
Dengan ini, dapat diambil kesimpulan bahwasanya, pemanfaatan lokasi Museum Isdiman dapat dijadikan penunjang guna kelancaran atau kebermudahan penyerapan materi oleh guru kepada siswa. 











Description: Museum Isdiman Sebagai Tempat Belajar Siswa SMA Daerah Ambarawa
Reviewer: Muhammad Ath Thaariq Aziizi
Rating: 4.0
ItemReviewed: Museum Isdiman Sebagai Tempat Belajar Siswa SMA Daerah Ambarawa

No comments: